BUPATI Asahan Kolonel Rihold Sihotang kali ini benar-benar kena
batunya. Warga Desa Silau Jawa, Kecamatan Bandar Pasir Mandoge,
Asahan, tak mempan lagi digertak agar tak mengusik tanah sengketa,
lahan kelapa sawit seluas 224 hektare. Bahkan warga desa di Sumatera
Utara itu belakangan punya nyali balik mengultimatum Bupati Sihotang:
agar aparatnya tak lagi memasuki tanah bermasalah itu. Ultimatum itu
kena. Aparat Pemerintah Daerah (Pemda) Asahan yang menggarap kebun itu
ngacir menyingkir. Agaknya inilah pertama kali petani berani
mengultimatum bupati.
Warga Silau Jawa pun bersukacita. Usai Lebaran lalu, mereka mengadakan
kenduri di tengah lahan sengketa dengan memotong lima ekor kambing.
Para petani peserta Perkebunan Inti Rakyat (PIR) Lokal itu sempat
memanjatkan doa bersama: "Semoga Tuhan membukakan pintu hati Pak
Bupati Sihotang."
Sengketa Silau Jawa, 190 km dari Medan, sudah muncul tahun 1990,
ketika Rihold baru datang ke Asahan sebagai bupati. Ia mengincar lahan
432 hektare dari 628 lahan PIR itu dengan dalih untuk dana kas desa.
Tapi lahan itu seluruhnya sudah ditetapkan untuk PIR lokal sejak
1985-1986, dan PT Perkebunan V Hutapadang telah ditetapkan sebagai
perkebunan inti. Pun pesertanya (petani plasma) telah ditetapkan:
penduduk setempat yang telah menggarap sebagian tanah negara itu.
Rihold terus bersikeras. Dibentuknyalah Unit Usaha Otonom (UUO) yang
mengelola panen lahan PIR itu. Para peserta PIR yang tergabung dalam
Kelompok Tani Tomburna (Toga Manurung Dohot Boruna) itu tentu protes.
Tapi UUO jalan terus. Para petani plasma melakukan unjuk rasa di DPRD
Asahan, bahkan kemudian ke DPRD Sumatera Utara di Medan. Pengaduan pun
dikirim ke sana kemari.
Sihotang berani tak menggubris surat Direktur Jenderal Perkebunan,
Desember 1992, yang menolak rencananya. Lahan itu, sebagaimana niat
semula, tetap untuk kebun plasma. Bahkan sertifikasinya sedang
diupayakan. Para petani tak tinggal diam. Mereka terus melakukan unjuk
rasa. Bahkan mereka mengutus delegasi ke Jakarta. Maka keluar Surat
Keputusan Menteri Pertanian Prof. Sjarifuddin Baharsjah, Januari 1995.
Isinya: menolak rencana Rihold. Menteri meminta Bupati mengembalikan
tanah itu ke penggarapnya. Keputusan ini dikuatkan surat Menteri Dalam
Negeri Yogie S. Memet -- atasan langsung Sihotang -- yang terbit pada
bulan yang sama.
Tapi, anehnya, Rihold tak goyah. Lebih aneh lagi, entah kenapa,
Departemen Dalam Negeri akhirnya bersedia kompromi, dengan mengirim
tim pencari fakta ke Asahan. Hasilnya tertuang dalam surat 10 April
1995. Hasilnya: dari 254 permohonan untuk menjadi peserta cuma 104
yang dikabulkan. Yang 150 ditolak. Maka Rihold mendapat 224 hektare.
"Lahan itu merupakan tanah negara yang telantar," kata Sofyan Yoga,
juru bicara Pemda Asahan.
Padahal lahan PIR itu sudah penuh kelapa sawit yang menghasilkan. Para
petani pun marah. Akhirnya, petani yang sudah hampir putus asa itu
membuat ultimatum. Keruan saja pegawai kantor UUO dan lebih dari 100
pekerjanya memilih kabur dari lahan panas itu. Warga Silau Jawa ini
pun menutup jalur ke kebun UUO itu dengan portal besi yang digembok.
Mereka menduduki kebun itu.
Polisi tak muncul. Mungkin khawatir jatuh korban bentrokan dengan
petani yang sudah putus asa dan nekat itu. Ada pula orang yang
mengait-ngaitkannya dengan hubungan buruk Bupati Sihotang dengan
Kepolisian Resor (Polres) setempat. Sebuah lapangan sepak bola di
Kisaran, ibu kota Kabupaten Asahan, yang diketahui milik Polres
setempat, tiba-tiba diklaim Sihotang sebagai aset Pemda. Tentu Polres
memprotes. Sihotang tak goyah.
Dalam soal tanah, kebijaksanaan Sihotang memang sering kontroversial.
Sejumlah sengketa tanah di sana melibatkan nama Bupati, yang dikenal
memiliki kebun kelapa sawit yang luas itu. (Putut Trihusodo)/GIS.-
Sumber
Post a Comment