Ekonomi Istitute For Development of Economics and Finance (INDEF) Bima Yudhistira menilai bahwa Pelemahan Rupiah terhadap Dollar AS ini sudah diluar Fundamentalnya. "Jelas beresiko ke utang, Selisih KURS yang ditanggung Pemerintah muncul saat Pembayaran kewajiban jatuh tempo utang," ungkapnya.
Berdasarkan Data SULNI BI, Bima Yudhistira menjelaskan Kewajiban membayar utang Luar Negeri Pemerintah yang jatuh tempo di 2018 mencapai USD 9,1 Miliar yang terbagi menjadi USD 5,2 miliar pokok dan USD 3,8 miliar bunga. Apabila menggunakan KURS 13.400 sesuai APBN, maka Pemerintah wajib membayar RP. 121,9 Triliun. sementara dengan KURS sekarang di kisaran 14.700 beban Pembayaran menjadi Rp.133,7 triliun. jadi apabila tidak dikendalikan (rupiah) selisih pembengkakan akibat selisih Kurs sebesar Rp.11,8 triliun. Uang Rp.11,8 triliun setara 20 persen dari Alokasi Dana Desa, seharusnya bisa dibuat Belanja Produktif tapi malah habis untuk membayar selisih Kurs, dan itu merupakan kerugian bagi APBN, jelasnya.
Hal yang sama juga diungkapkan oleh Direktur Eksekutif Economic Action (ECONACT) Indonesia Ronny P Sasmita yang menurutnya Nilai tukar Rupiah saat ini lagi dipengaruhi murni faktor Global, dan juga Kombinasi dengan Dalam Negeri. "Ini sudah perpaduan tekanan eksternal dan internal, internalnya bisa dilihat dari Neraca Dagang, Neraca Pembayaran, dan Transaksi berjalan minus, Ungkapnya". Upaya yang harus dilakukan Pemerintah Harus Fokus pada Penguatan Rupiah agar bertahan di Harga Fundamentalnya, Fundamentalnya yaitu dikisaran 14.500 Per Dollar As," Lanjutnya. (source)
Post a Comment